Sunday, November 8, 2015

FIQIH MUAMALAH : PENGERTIAN & DASAR HUKUM BAI' (JUAL BELI)

Jual Beli (Bai’) disebut juga dengan kata asy sira’, al mubadalah, dan at tijarah. Menurut etimologi, jual beli diartikan sebagai ”Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain”.
Adapun menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikannya.

  1. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta beradasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
  2. Menurut Imam Nawawi dalam al majmu’, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
  3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
  • Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafi’iyah : 5)
  • Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik  dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
  • Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta atas harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.(Hasbi Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh muamalah :97)

Jual beli juga bisa diartikan suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang. Secara etimologis,jual beli juga berarti berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-bai’,al-tijarah, dan al-mubadala.
Menurut istilah terminology yang dimaksud jual beli adalah :
Dari beberapa definisi tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwasanya jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dalam jual beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara’. Yang dimaksud benda dapat mencakup pengertan barang dan uang dan sifatnya adalah bernilai. Adapun benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya adalah haram diperjual belikan.
Ada pula yang mengartikan bahwa Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta. sedangkan secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian “fasilitas” dan “kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya penyewaan dan menikah.
Di dalam kata Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.


Dasar Hukum Jual Beli


Landasan Syar’i
Jual beli disyariatkan berdasarkan al Qur’an, as sunnah, dan ijma’ ulama’.
a. Landasan Al Qur’an
  • Al Baqarah ayat 275
”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
  • Al Baqarah ayat 282
”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli...”.
  • An Nisa’ ayat 29
”...kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka”.
b. Landasan as sunnah
  • Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, ”Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur,” (HR. Bazzar, Hakim menshahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’).
  • Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c. Landasan ijma’ ulama
Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

daftar pustaka : 

No comments:

Post a Comment